!---->

Type something and hit enter

ads here
On
Gambar mobil Toyota Agya dan Daihatsu Ayla di Jakarta (19/9).

Asia Otomotif, Jakarta - Bangkitnya industri otomotif China mulai bisa kita rasakan ketika ini. Beberapa merk sedan, SUV dan truk mulai tampak di jalan. Bukan hanya di Indonesia, mungkin ketika ini sudah lebih dari 6 merk sudah masuk pasar Amerika Serikat. Dilihat dari volumenya, belakang layar China sudah menjadi pasar otomotif terbesar di dunia yang menembu angka 10 juta sales pertahun.

Bila dilihat sejarahnya, China membina industri otomotif mulai dari kendaraan untuk militer dan pertanian. Knowhow untuk pengembangan produk, terutama industri parts, sudah mapan semenjak tahun lima-puluhan. Engine, axle, transmission sudah biasa mereka design dan produksi.

Maka tidak mengherankan jikalau pada awal tahun 90an ada lebih dari 200 merk kendaraan beroda empat di China, merk abnormal dan merk lokal. Maka melihat ketidak-effisienan ini, pemerintah China berusaha melaksanakan aktivitas rasionalisasi. Regrouping, industri otomotif dihimbau untuk merger dan penataan ulang perizinan. Modal dan teknologi berpengaruh dari luar diundang untuk menjadi katalisator proses rasionalisasi ini.

Jumlah merk ingin dikurangi, harapannya akan tercapai volume yang lebih ekonomis untuk berkembang wajar. Dalam rencana pembangunan strategis China ketika itu, Industri otomotif secara explisit dijadikan pilar pertumbuhan industri dengan pembagian terstruktur mengenai yang detail untuk pengelolaan dan penunjukan pihak-pihak yang in charge secara jelas.

Kembali ke situasi ketika ini di negeri kita. Sebagai orang awam, kita mendengar kebijakan prioritas kita bukan Mobil Nasional, tetapi kendaraan beroda empat murah. Mobil murah itu bisa siapa saja yang mewujudkan. Bisa juga merk yang dimiliki oleh orang luar tetapi beroperasi di Indonesia. Yang penting ada kegiatan ekonomi, ada lapangan kerja, ada komponen lokal yang melibatkan sebanyak-banyaknya orang Indonesia. Fokusnya di pengembangan komponen lokal, sehingga substitusi import bisa terjadi dengan sendirinya jikalau komponen lokal bisa bersaing secara Quality, Cost, Delivery dan aspek lainnya menyerupai Technology, Morale, Services dll.

Tetapi jangan lupa bahwa pemilik merk kendaraan beroda empat hanya mau bekerja sama dengan pihak yang bisa memberi input teknologi lebih kepada mereka. Hanya yang memiliki kemampuan development yang masuk hitungan mereka. Mereka hanya mau berurusan dengan supplier yang punya teknologi biar bisa mengandalkan supplier mengambil porsi lebih besar dalam membangun nilai tambah bagi bisnis mereka. Suatu bentuk risk sharing yang cerdik.

Bukan hanya sekadar cost yang lebih murah untuk sasaran jangka pendek, tetapi mereka lebih membutuhkan pinjaman supplier yang bisa menunjukkan Competitive Advantage untuk persaingan jangka panjang.

Sehingga kembali suppier yang hanya bisa memalsukan bentuk tidak akan bisa bersaing dan ditinggalkan oleh pemilik merk luar. Sehngga, kembali, tanpa lokomotif yang menarik supplier itu untuk maju bersama, kita akan selalu ketinggalan. Akibatnya, first tier industri supplier kita dikuasai oleh pihak asing, terutama Jepang. Supplier lokal kebanyakan hanya menjadi second tier denganprofit yang terukur, dicatu sehingga mereka tidak bisa bekembang dari hasil profit.

Pada perioda tahun 70 an hingga awal 90an, keterlibatan pemerintah kita lebih banyak didominasi untuk mengarahkan perkembangan industri otomotif. Mulai dari pemilihan prioritas pengembangan untuk kendaraan niaga dengan insentif bea masuk nol, target local content dan lain-lain hingga dengan konsep Kendaraan Bermotor Niaga Sederhana yang didukung untuk dikembangkan.

Konsepsi strategis menyerupai itu ketika ini kurang terdiseminasi ke lapangan, sehingga masing-masing unit industri sibuk sendiri-sendiri dan sinergi hanya terjadi di dalam kerjasama di dalam aktivitas suatu merk. Padahal pelajaran harus diambil dengan melihat apa yang terjadi Thailand ketika ini, dimana merk-merk yang tadinya merasa mapan dengan seni administrasi pemindahan basis industri ke Thailand mulai berfikir ulang untuk invest di kawasan lain.

Ternyata nothing lasts forever, secara alami perubahan terus terjadi. Pola migrasi industri textile jangan-jangan terulang kembali. Atas nama cost benefit, industri otomotif berpindah lokasi meninggalkan aset usang yang segera akan menjadi tidak memiliki kegunaan setelah ada perkembangan teknologi baru.

Pada ketika itu terjadi, mampukah kita memanfaatkan aset yang tinggal, baik itu aset tetap maupun spirit, knowhow dan kompetensi pelaku industri untuk persaingan dikemudian hari? Bukankah kita harus berguru dari pengalaman dengan industri textile, microchip dan industri sepatu dulu?

Langkah antisipatif China untuk menguasai pasar baja dunia di 20 tahun ke depan akan membawa kemampuan saing mereka di indusri otomotif semakin tinggi di masa bersahabat ini. Strategi Jepang untuk menguasai pasar jasa logistik dunia diyakini dapat membantu mereka survive pada ketika industri manufaktur mereka mendapatkan tentangan yang lebih berat. Langkah strategis menyerupai ini dibutuhkan jikalau kita ingin melindungi kepentingan kita di masa depan.

Ada adagium pengembangan diri yang dapat diterapkan untuk situasi ini, jikalau kita tidak ambil tanggung jawabnya (to be responsible), kita akan jadi mangsa (victim) orang lain. Kadang-kadang ini tidak bisa jadi pilihan. Ini keharusan jikalau dilihat dari konteks persaingan global.

Selain upaya membuat tamu kita industri dari luar tetap betah tinggal di Indonesia selama mungkin, kebijakan industri otomotif harus tegas menampilkan impian kita, membela kepentingan nasional. Memperkuat kemampuan negosiasi dan membentuk dasar legislasi yang kondusif untuk pengembangan daya saing industri lokal. Memperkuat kemampuan bersaing industri domestik tanpa mencederai prinsip perdagangan bebas, misalnya dengan kombinasi kebijakan-kebijakan sebagai berikut:

1. Mengendalikan pasar, menyerupai di India di masa lalu yang menahan pertumbuhan pengembangan produk baru. Bila pemerintah dapat mengarahkan pasar dengan aturan-aturan biar tetap mendapatkan existing product untuk memperpanjang life cycle atau menghambat pembelian kendaraan beroda empat baru, maka volume ekonomis akan tercapai dan investasi menjadi lebih efisien. Resikonya produknya akan tampak usang, jikalau dibandingkan dengan perkembangan produk di luar negeri. Seperti model kendaraan beroda empat Ambassador di India yang tidak berubah semenjak tahun 60 an hingga awal tahun 2000an, tetapi tetap dipakai sebagai kendaraan beroda empat menterinya hingga selesai tahun 90an.

Memperbesar pasar di dalam negeri, membuka order pembelian pemeintah, memperbaiki infra struktur, merangsang pertumbuhan ekonomi, hingga ke meningkatkan daya beli.

Bahkan VW Beetle pun dipromosikan oleh Hitler untuk pemakaian pegawai negeri dengan fasiltas kredit di Jerman di masa perkembangannya dulu.

2. Mendorong industri biar lebih pintar belajar. Memberi insentif yang memberi peluang kepada industri untuk bisa menyebarkan sendiri teknologi yang sudah terkuasai, biar tetap bisa diterapkan untuk menghadapi persaingan pasar yang berkembang terus. Investasi akan intensif, produk berkembang terus sederap dengan perubahan pasar dan teknologi terus berkembang di depan merangsang perkembangan itu.

Tanpa input guidance pribadi dari luar, industri otomotif harus bisa menyebarkan standard teknologi ketika ini sebagai modal untuk beranjak ke standard yang lebih maju dengan berguru dari operasi sehari-hari.

Hal ini dilakukan oleh Tianjin otomotof industri di China yang 8 tahun berkembang dibawah nama Daihatsu, tetapi kemudian berdiri sendiri terlepas dari Daihatsu dengan merk sendiri. Atau menyerupai TATA yang semula dibesarkan dengan share kepemilikan dari Daimler, tetapi kemudian melepaskan diri. Hal ini juga dilakukan oleh Daewoo dengan GM. Spin Off ini tidak selalu disertai dengan hard feeling. Saat ini Daewoo masih bekerja sama dengan GM, TATA berhubungan dengan Daimler. Begitu juga kerja sama antara Tianjin dengan Daihatsu. Atau Kwang Yang Motorcycle Company (Kymco) di sepeda motor yang awalnya berkembang dengan Honda di Taiwan. Kelihatannya semua pihak dapat mempertemukan semua kepentingannya secara win-win dengan pemerintah sebagai katalisatornya. Negosiasi menyerupai ini yang tidak dapat kita menangkan ketika Honda motor mengancam pisah dari Astra, jikalau Astra tetap melanjutkan proyek sepeda motor Indonesia, yang prototype type Expresa-nya dicoba oleh pak Harto keliling istana. Akhirnya proyek sepeda motor itu dihentikan dan keluar dari Astra, mungkin alasannya yakni tidak cukup keterlibatan dari pemerintah untuk itu.

3. Masuk dengan seni administrasi Blue Ocean. Menciptakan iklim untuk prioritaskan produk-produk yang tidak frontal bersaing di pasar yang terlalu ramai. Seperti pola industri otomotif China yang masuk di pasar kendaraan militer dan kendaraan pertanian. Di sektor ini perkembangan feature produk tidak lebih banyak didominasi menentukan sukses pemasaran.

Arah pengembangan kembali ke kendaraan niaga sebagai prioritas, kendaraan truk pertanian, kendaraan pertambangan, kendaraan perang, traktor, alat berat dan sebagainya dirangsang biar dapat tumbuh berkembang. Kembangkan kompetensinya dulu dengan produk dengan profitability tinggi walaupun volume rendah, gres kemudian volume di dapat dengan masuk ke produk yang main omzet tinggi dengan profit lebih rendah.

Seperti TATA yang mulai dengan pembuatan lokomotif 70 tahun yang lalu, kemudian beranjak ke truk, pick up dan bus sebelum masuk ke kendaraan sedan.

Pemerintah harus menyediakan opportunity market untuk infant industry menyerupai ini, biar pada saatnya industri otomotif dapat menjadi lokomotif penarik kemajuan industri.

4. Menciptakan aturan yang mendorong pengembangan industri hulu dan industri penunjang. Dari awal pengembangannya industri otomotif Indonesian dimaksudkan untuk dimulai dari hilirnya untuk dikembangkan ke hulu. Dari proses assembling untuk kemudian ditindak lanjuti ke kemampuan manufacturing. Mulai dari kemampuan pembuatan ke kemampuan design. Dari komponen dikembangkan ke kemampuan pembuatan materialnya. Sehingga tercipta struktur industri yang lengkap untuk memberi sumbangan maksimal penambahan nilai lokal dalam industri otomotif.

Sudah saatnya keinginan ini diterapkan dengan peraturan strategis yang mendorong pengembangan industri hulu menyerupai industri material dan industri peralatan permesinan sebagai industri penunjang. Perlu diaudit kembali status pencapaian ketika ini. Struktur industri yang masih kosong harus dapat dipenuhi. Untuk melengkapi, yang tidak diperoleh secara gratis, harus kita beli.

Aturan dengan keberpihakan yang terperinci untuk mempertinggi kemampuan lokal dibandingkan terhadap cost yang belum tentu lebih rendah. Sehinga integrasi dari semua upaya ini seharusnya dimulai dari satu aktivitas bersama yang dapat diwadahi oleh Mobil Nasional.

Kekayaan sumber daya alam lokal belum menjadi competitive advantage alasannya yakni tidak siapnya broad base industri pemanfaatannya. Seperti juga komoditi sawit, kayu, karet, dan sebagainya, industri metal tidak diikuti oleh perkembangan yang serius untuk pemanfaatannya. Sehingga siklusnya terputus dan kita tetap rendah dalam daya saing.

5. Pemerintah harus bisa memanfaatkan aset nasional yang sudah tertanam dalam proyek-proyek Mobil Nasional terdahulu. Secara nasional, ada potensi yang idle tidak perform. Restrukturisasi penyelesaian problem finansial sebaiknya dibantu oleh komitment pemerintah untuk dapat kembali bermanfaat. Siapa tahu dengan sedikit pengaturan, asetnya dapat kembali bermanfaat. Asset bekas Timor, asset Perkasa dll harus bisa dimanfaatkan.

Kembali ke pola VW Beetle, bukan Hitler yang membawa kesuksesan bisnis VW. Setelah perang dunia II kemudahan pabrik VW di Wolfsburg hancur total. Angkatan Udara Inggeris yang ditugasi membenahi aset itu menunjuk Heinrich Nordhoff yang memulai segalanya dari nol. Dengan kegigihan, kerja keras dan ketekunannya ia meletakkan dasar sehingga VW Beetle berhasil diproduksi sebanyak 16,255,500 buah selama lebih dari 30 tahun.