!---->

Type something and hit enter

ads here
On
Buruknya sistem transportasi massal di ibu kota dan pertambahan kendaraan yang tak terkendali semakin menambah kemacetan parah tiap hari.

Asia Otomotif, Jakarta - Di tengah keraguan pemerintah menaikkan harga materi bakar minyak (BBM) bersubsidi, tiba-tiba diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 41/2013 wacana Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Di dalam PP tersebut diatur pula low cost green car(LCGC) atau kendaraan beroda empat murah ramah lingkungan, meliputi hybrid car, kendaraan beroda empat listrik, dan biofuel. Substansi PP tersebut ialah mengatur mengenai penghitungan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Jenis kendaraan beroda empat yang diatur dibedakan menjadi dua, yakni low carbon emission (LCE) dan LCGC.

Potongan pajak PPnBM yang dikenakan terhadap kendaraan beroda empat LCE yakni 25-50%, sedangkan untuk LCGC 100% alias dibebaskan. Yang termasuk dalam LCE ialah kendaraan beroda empat berbahan bakar diesel atau petrol engine, biofuel, hybrid, gas CNG, atau LGV. Mobil LCE dikenakan diskon pajak 25% kalau konsumsi materi bakarnya 20-28 km per liter, dan diskon 50% kalau konsumsi materi bakar lebih dari 28 km per liter.

Sedangkan kendaraan beroda empat yang termasuk LCGC dibagi menjadi dua, yakni kendaraan beroda empat berteknologi motor bakar cetus api (premium) dengan kapasitas hingga 1.200 cc dan kendaraan beroda empat berteknologi motor nyala kompresi (diesel atau semidiesel) dengan kapasitas hingga 1.500 cc. Konsusmsi materi bakar dua jenis kendaraan beroda empat tersebut minimal 20 km per liter atau materi bakar lain yang setara.

Kedua jenis kendaraan beroda empat tersebut dapat diproduksi oleh produsen lokal maupun absurd (Sumber: rangkuman pemberitaan beberapa media massa). Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/2013 ini menandai lahirnya suatu generasi gres dalam dunia otomotif, yaitu kendaraan beroda empat dengan materi bakar yang lebih irit, sehingga disebut ramah lingkungan. Dan alasannya menunjukkan teknologi yang hemat BBM, maka memperoleh kepingan pajak cukup signifikan.

Potongan pajak yang signifikan itulah yang menimbulkan kendaraan beroda empat tersebut dapat dijual dengan harga murah dibandingkan mobil-mobil biasa yang ada di pasaran sekarang ini. Harganya yang murah itulah yang akan membuat jenis kendaraan ini akan diburu oleh masyarakat yang sudah lama mimpi memiliki kendaraan beroda empat pribadi.

Mungkin inilah tanggapan atas wacana city car yang ramai dibicarakan semenjak dua tahun silam, yaitu mobil-mobil gres dengan harga di bawah Rp 100 juta. Jika kemampuan produksi kendaraan beroda empat jenis LCE dan LCGC mencapai 100.000 unit pada tahun pertama, dapat dipastikan ia akan terserap oleh pasar semua dan menjadi rebutan golongan kelas menengah baru. Selamat datang kendaraan beroda empat gres di negeri yang boros BBM! Ironi

Sebuah Kebijakan

Keluarnya PP yang mengatur wacana kendaraan beroda empat murah ini sesungguhnya merupakan wujud ketidakkonsistenan pemerintah dalam kebijakan BBM. Di satu pihak, semenjak 2010 terus mewacanakan untuk hemat BBM, termasuk juga membatasi kuota BBM bersubsidi, tapi si sisi lain, pemerintah justru mendorong produksi kendaraan beroda empat murah dengan cara menyampaikan diskon pajak yang cukup signifikan. Harga murah dan hemat BBM itulah dua daya tarik utama bagi para pengguna sepeda motor untuk bermigrasi ke kendaraan beroda empat pribadi. Apalagi bila bentuknya kecil dan dengan fleksibel bisa bermanuver di jalan yang macet, orang pasti menyukainya.

Mengingat pertumbuhan kelas menengah di Indonesia selama satu dekade cukup signifikan, maka dapat diperkirakan proses migrasi dari sepeda motor ke kendaraan beroda empat murah akan terjadi secara masif. Dengan demikian dalam lima tahun ke depan, kendaraan beroda empat murah akan mendominasi jalan-jalan di kota-kota besar di Indonesia. Meskipun sudah didesain dengan teknologi hemat BBM, tapi alasannya jumlahnya masif, tetap saja kehadiran kendaraan beroda empat murah ini akan turut mempercepat proses pemborosan BBM. Mobil yang dimaksudkan sebagai solusi hemat BBM ini malah turut memacu pemborosan BBM.

Jika pemerintah hendak mengambil kebijakan hemat BBM, langkah yang sempurna ialah menaikkan harga BBM. Atau pun kalau ingin menyampaikan insentif pajak, seharusnya itu diberikan untuk jenis angktan umum (bus), bukan jenis kendaraan beroda empat pribadi. Dengan harga bus/truk yang lebih murah, berarti operator dapat menekan biaya investasi yang pengembaliannya dibebankan pada tarif yang harus dibayar oleh penumpang/pengguna jasa. Bila biaya investasi kendaraan cukup tinggi, tarif pun tinggi. Tapi bila biaya investasi rendah, tarif dapat ditekan menjadi lebih murah. Memberikan keringanan/pembebasan pajak bagi kendaraan eksklusif itu inkonsisten dengan niat kebijakan untuk hemat BBM

Ironisnya lagi, dalam penetapkan pajak kendaraan Kementerian Keuangan tidak mendasarkan pada fungsi kendaraan, melainkan hanya pada besaran CC-nya saja. Ini yang membuat jenis bus dan truk – dengan alasan CC-nya lebih besar – dikenai pajak lebih besar pula, sebaliknya untuk kendaraan pribadi. Ini terang mencerminkan kekacauan berpikir birokrat, alasannya hal yang terkait dengan kepentingan publik diperberat, tapi terkait dengan kepentingan eksklusif justru diperingan.

Tidak mengherankan bila hingga dikala ini Indonesia belum memiliki pabrik bus sendiri. Mestinya PP yang dibuat itu untuk mendorong lahirnya industri pembuatan bus dan truk untuk mendukung angkutan umum massal dan barang dalam negeri.

Untungkan Pihak Asing

Dengan dikeluarkannya PP No 41/2013 itu maka pihak yang paling diuntungkan ialah industri otomotif absurd yang sudah siap teknologi untuk memproduksinya. Sedangkan industri otomotif lokal masih masih harus berguru teknologi terlebih dahulu untuk membuat kendaraan beroda empat hemat BBM. Makara peraturan ini bekerjsama pepesan kosong bagi industry otomotif lokal. Bagi masyarakat umum, ini justru merupakan jebakan gres untuk masuk ke dalam massalisasi kendaraan beroda empat pribadi.

Boleh jadi, munculnya peraturan tersebut merupakan hasil lobi industry otomotif dari luar yang sudah menginvestasikan modalnya secara besar-besaran di Indonesia. Efek lanjut dari massalisasi kendaraan beroda empat eksklusif ini ialah akan muncul desakan untuk membangun jalan-jalan gres atau memperlebar jalanjalan yang ada dengan alasan sudah tidak bisa lagi menampung kendaraan yang lewat. Bila kekhawatiran tersebut menjadi kenyataan, kendaraan beroda empat murah yang disebut sebagai solusi hemat BBM justru berbalik menjadi problem baru, yaitu pemborosan BBM secara masif dan terprogram.

Sulit bagi pemerintah ke depan untuk mengendalikan pertumbuhan kendaraan beroda empat murah ini mengingat hingga sekarang belum ada satu pun instrumen untuk pembatasan kendaraan pribadi. Di sisi lain, perbaikan angkutan umum massal tidak terjadi secara cepat di semua wilayah Indonesia, tapi lebih terkonsentrasi di beberapa kota besar saja. Wajar bila di kemudian hari masyarakat justru bertumpu pada eksistensi kendaraan beroda empat murah untuk melaksanakan mobilitas geografis. Akhirnya, secara agregat, eksistensi kendaraan beroda empat murah yang disebut hemat BBM itu tetap saja memboroskan BBM dalam negeri.