!---->

Type something and hit enter

ads here
On
Ilustrasi Kemacetan di Ibu Kota Jakarta.

Otomotif, Jakarta - Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2013 wacana pembebasan pajak atas penjualan barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan beroda empat murah, dapat menghancurkan konsep transportasi massal Jakarta.

Kemacetan menjadi pemandangan yang biasa di ibukota. Dari yang mampu kita lihat di tempat Jatinegara, Jakarta Timur saja misalnya, walau sudah dilakukan penertiban, ternyata masih ada dua titik kemacetan di sana, yaitu di depan SMPN 14 Jakarta dan di erat Pasar Jatinegara.

Menurut pengamatan Rakyat Merdeka, hal yang sama juga terlihat di tempat Ampera, Jakarta Selatan. Titik kemacetan khususnya saat pagi, ada di depan SMU Sumbangsih. Nampak kendaraan eksklusif mengular dari depan SMU Sumbangsih sampai ke depan halte Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Tak Jarang, jikalau sedang ada sidang tilang kendaraan di PN Jaksel (yang lokasinya tak jauh dari IPDN), kemacetan akan terus mengular sampai ke Jalan Sawo.

Data Kementerian Pekerjaan Umum menunjukan, salah satu pemicu kemacetan di Jakarta ialah alasannya sikap masyarakatnya yang lebih memilih kendaraan eksklusif untuk beraktivitas ketimbang angkutan massal.

Bahkan, isu terkini persentase penggunaan angkutan massal masyarakat Jabodetabek terus menurun tiap tahun. Bila pada 2002 penggunaan angkutan masaal ke kantor mencapai 38,3 persen, maka pada 2010 hanya 12,9 persen.

Ironisnya, kemacetan di Jakarta ke depan sepertinya akan semakin parah. Penyebabnya, pada final Mei lalu pemerintah mengeluarkan PP Nomor 14/2013 wacana kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Peraturan itu antara lain menyebutkan ada keringanan pajak penjualan sampai nol persen untuk penjualan kendaraan beroda empat yang hemat energi dan kendaraan beroda empat murah. Dengan pajak nol persen itu, mobil-mobil dengan kapasitas di bawah 1.200 cc dan memiliki konsumsi materi bakar minyak kurang lebih 20 km per liter, setidaknya dapat dipasarkan lebih murah di bawah harga Rp 100 juta.

Murahnya harga kendaraan beroda empat ini tentunya dapat kian memperparah kemacetan, lantaran masyarakat mampu berbondong-bondong membeli kendaraan beroda empat murah untuk beraktivitas, ketimbang pakai angkutan massal.

Menyikapi duduk perkara ini, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi), tak menampik jikalau peraturan itu sangat berisiko memicu masyarakat membeli mobil.

“Siapa yang nggak mau kendaraan beroda empat murah. Ya cantik dong, cantik artinya tambah macet,” sindir bekas Walikota Solo ini.

Jokowi juga menilai, kebijakan kendaraan beroda empat murah dan kendaraan beroda empat hemat energi tidak sesuai dengan langkah pemerintah sendiri yang akan menekan penggunaan materi bakar minyak (BBM).

Namun, alasannya Pemprov DKI tak mampu melarang warga untuk membeli mobil, lanjutnya, seharusnya kebijakan pemerintah dapat beradaptasi dengan acara penataan lalulintas, bukan sebaliknya. Jika tidak, penambahan kendaraan beroda empat sudah pasti akan menambah macet ibukota.

"Kalau ada kendaraan beroda empat murah, masyarakat kapan mau pakai transportasi massal," keluhnya.

Hingga kini, diakui Jokowi, pihak Pemprov masih berkonsentrasi dengan konsep sistem ganjil-genap dan electronic road pricing (ERP) demi mengurai kemacetan. Kini, ia mengaku mendapat PR gres lagi, yakni segera mempelajari peraturan gres pemerintah pusat tersebut.

Yang Dibutuhkan Transportasi Umum Murah

Kebijakan pemerintah pusat yang membebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan beroda empat murah dan kendaraan beroda empat hemat energi, dinilai hanya akan bertentangan dengan penataan transportasi umum.

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, Indonesia sebetulnya tidak memerlukan kendaraan beroda empat murah ataupun kebijakan wacana kendaraan beroda empat murah hemat energi (low cost green car).

Menurutnya, yang diharapkan Indonesia ialah transportasi umum yang murah. "Pejabat Indonesia itu tidak sensitif terhadap kebutuhan rakyatnya," kritik Djoko.

Kebijakan kendaraan beroda empat murah dan hemat energi, lanjut Djoko, juga akan bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang tengah gencar-gencarnya menekan konsumsi BBM bersubsidi.

Selain itu, kebijakan tersebut dapat mendorong masyarakat membeli ataupun menambah mobil. Imbasnya, jumlah kendaraan beroda empat yang beredar di jalan akan semakin banyak, sampai kesudahannya menimbulkan kemacetan di segala ruas jalan.

"Apalagi pemasaran kendaraan beroda empat sekitar 30 persen terkonsentrasi di DKI Jakarta. Ini tentu akan menambah kemacetan. Imbasnya, kebijakan tersebut tidak mendukung kepala daerah yang sedang menata transportasi umum," ujarnya.

Seperti diketahui, salah satu daerah yang dipastikan bakal terkena imbas kebijakan kendaraan beroda empat murah dan hemat energi, yang tertuang dalam PP Nomor 41 Tahun 2013 ialah Jakarta. Program transportasi massal menyerupai monorail ataupun mass rapid transit (MRT) mampu gagal jikalau masyarakat memilih menggunakan kendaraan beroda empat pribadi.