!---->

Type something and hit enter

ads here
On
Ilustrasi Kemacetan di Jakarta.

Otomotif, JAKARTAAsosiasi Industri Automotif Nusantara (Asia Nusa) mengkhawatirkan hadirnya kendaraan beroda empat murah dan ramah lingkungan (LCGC/mobil hijau) akan menjadi ‘terminator’ yang bakal memberangus pengembangan kendaraan beroda empat nasional.

Selama ini, industri kendaraan beroda empat nasional sulit berkembang alasannya yaitu kurang keberpihakan pemerintah serta bantuan perbankan dan perusahaan pembiayaan.

Dewa Yuniardi, Ketua Bidang Marketing dan Komunikasi Asia Nusa, menuturkan sekalipun tanpa bantuan pemerintah, perencanaan dan perakitan kendaraan beroda empat nasional (Mobnas) hingga dikala ini masih berjalan.

Namun, produksi dilakukan hanya untuk memenuhi pesanan dari perusahaan transportasi dan koperasi, bukan untuk dijual secara ritel.

“Kami memang tidak menyasar pasar ritel alasannya yaitu kompetisinya terlalu berat. Kami pasti kalah alasannya yaitu untuk bisa masuk ke sana butuh modal besar, butuh nama, jaringan aftersales dan distribusi, serta service,” tuturnya kepada Bisnis, Rabu (20/8/2017).

Berdasarkan varian, lanjut Dewa, hanya Mobnas merek Tawon yang produksinya cukup lumayan, yakni sekitar 600 unit per bulan.

Sementara itu, merek lain ibarat GEA Moko dan Komodo masih sangat rendah, masing-masing berkisar 50 unit dan 10 unit per bulan.

“Kalau LCGC keluar, itu bisa jadi ‘Terminator’ bagi kendaraan beroda empat nasional. Kami sudah pasti kalah alasannya yaitu selisih harganya dekat. Mobnas kami jual Rp50-Rp60 juta, LCGC harganya sekitar Rp80 juta, sudah pasti konsumen lebih memilih LCGC,” ketusnya.

Dewa menambahkan pengembangan kendaraan beroda empat nasional selama ini nyaris tanpa bantuan pemerintah.

Kendala lain yang menghambat pemasaran kendaraan beroda empat nasional yaitu minimnya bantuan perbankan dan perusahaan pembiayaan untuk bisa memfasilitasi kredit.

“Kami gotong royong tidak dibantu pun tidak masalah, asalkan ada yang membeli, pasarnya ada. Tak perlu kebijakan yang neko-neko yang pada kesannya hanya menguntungkan pihak luar,” tegasnya.

Dia mengakui bahwa produsen kendaraan beroda empat nasional masih sangat bergantung terhadap pasokan materi baku dari luar negeri, terutama negara-negara produsen otomotif dunia.

Ketergantungan tersebut bukan alasannya yaitu anak bangsa tak bisa memproduksi sendiri materi baku otomotif, melainkan alasannya yaitu dominasi produsen abnormal yang terlalu besar dan memaksa pengembangan kendaraan beroda empat nasional harus mengikuti standar kendaraan beroda empat asing.

“Kami gotong royong optimistis industri kendaraan beroda empat nasional akan tumbuh, tapi dengan adanya LCGC bisa jadi kebalikannya,” tandas Dewa.

Seperti diketahui, prinsipal otomotif dunia yang memiliki basis produksi di Indonesia tengah menanti terbitnya regulasi LCGC.

Apabila aturan LCGC keluar pada awal April, ibarat yang dijanjikan pemerintah, maka dalam waktu akrab jalan-jalan di Indonesia akan dibanjiri kendaraan beroda empat hijau.

Dengan adanya regulasi LCGC tersebut, maka nantinya para pengembang kendaraan beroda empat murah ramah lingkungan akan menerima pembebasan pajak pertambahan nilai atas barang mewah (PPnBM).

Toyota dan Daihatsu, misalnya, telah memproduksi kendaraan beroda empat murah merek Agya dan Ayla. Kedua produsen otomotif Jepang tersebut berancang-ancang untuk memasarkan Agya dan Ayla dengan kisaran harga jual Rp80 juta per unit.