!---->

Type something and hit enter

ads here
On
Mobil murah dan kemacetan Jakarta
Ilustrasi Kemacetan di Jakarta.

Otomotif, Jakarta - Masyarakat Jakarta mengakhiri tahun 2016 dengan bayangan ihwal kemacetan yang belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Tampaknya, pada 2018 mendatang warga Jakarta harus siap menghadapi permasalahan yang sama, mengingat solusi atas kemacetan Jakarta dipastikan belum akan terwujud.

Dengan eksistensi kendaraan beroda empat murah yang akan mulai memasuki pasar, keadaan bahkan dipastikan akan semakin menantang. Tahun ini lima produsen kendaraan beroda empat besar dunia berencana memasarkan kendaraan beroda empat murah di Indonesia. Di antaranya Nissan yang akan memproduksi kendaraan beroda empat murah seharga Rp29 juta per unit, sangat terjangkau bagi sebagian besar warga Jakarta.

Dengan harga yang tidak terpaut jauh dengan harga sepeda motor diperkirakan akan terdapat migrasi besar-besaran dari sepeda motor ke kendaraan beroda empat murah; apalagi di tengah industri perbankan yang relatif mudah menunjukkan kredit barang konsumsi. Hal ini berpotensi menjadikan kemacetan total di jalan-jalan Jakarta.

Jakarta yakni pola tepat fenomena “tragedy of the common”, di mana upaya masing-masing individu untuk meningkatkan kenyamanan dengan membeli kendaraan beroda empat pribadi justru menghasilkan ketidaknyamanan kolektif berupa kemacetan. Kecenderungan yang sama juga mulai terasa di kota-kota lain menyerupai Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, dan Denpasar.

Diperlukan upaya serius dari pemerintah dan masyarakat supaya tragedi ini tidak terjadi. Tragedy of the common dapat dihindari dengan mengubah perilaku masyarakat sebagai penyebab utama. Hal tersebut hanya mampu diwujudkan melalui penerapan kebijakan publik yang efektif dan bertujuan jelas. Sayangnya, banyak sekali kebijakan yang diambil oleh pemerintah justru sering tidak mengerucut pada satu tujuan.

Ketidakselarasan kebijakan merupakan fenomena keseharian sehingga akumulasi dampak dari banyak sekali kebijakan tersebut adakalanya tidak sesuai harapan. Konsekuensi yang tidak diperlukan sering lebih dominan. Dalam konteks memperbaiki transportasi perkotaan di Indonesia terlihat terperinci absennya harmoni horizontal (antarkementrian) dan vertikal (antara pemerintah sentra dan pemerintah daerah).

Masingmasing institusi mempunyai parameter keberhasilan yang berbeda. Misalnya, perkembangan industri automotif dan peningkatan investasi pribadi merupakan parameter sukses Kementrian Perindustrian dan BKPM.

Di sisi lain, peningkatan jumlah kendaraan beroda empat akan meningkatkan konsumsi BBM yang berdampak pada pembengkakan nilai subsidi, memperburuk polusi, dan menurunkan kualitas layanan infrastruktur. Hal tersebut justru merupakan tantangan bagi Kementrian Keuangan, Kementrian Perhubungan, Kementrian Pekerjaan Umum, dan pemerintah daerah.

Perlu langkah nyata

Ide pelarangan kendaraan beroda empat murah bukanlah pilihan tepat di kurun demokrasi ini.Kebijakan tersebut bersifat diskriminatif, terutama kepada masyarakat kelas menengah yang menjadi konsumen potensial kendaraan beroda empat tersebut. Dalam konteks ini, pemerintah perlu melaksanakan pendekatan lain yaitu dengan menurunkan tingkat manfaat dan menaikkan biaya operasional bagi para pemilik mobil.

Rencana ini perlu melibatkan banyak sekali institusi pemerintah dan harus dilakukan secara bersamaan untuk menerima manfaat optimal. Upaya menurunkan tingkat manfaat kendaraan beroda empat pribadi akan menurunkan minat masyarakat untuk memilikinya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki sarana transportasi umum dan membangun mass rapid transportation system (MRT).

Sayangnya, rencana membangun MRT yang sudah digagas semenjak lebih dari dua dekade yang lalu selalu tertunda. Ide untuk merevitalisasi transportasi umum juga belum terwujud. Ketersediaan anggaran merupakan salah satu kendala utama. Dengan APBD DKI Jakarta sebesar sekitar Rp46 triliun tahun ini,Pemda DKI kesulitan mewujudkan subway tahap I dan monorel yang memerlukan investasi sebesar Rp16 triliun dan Rp7 triliun.

Padahal, penundaan tersebut akan menjadikan semakin sulitnya rencana ini diwujudkan pada masa mendatang akhir membumbungnya biaya pembebasan tanah dan konstruksi, jauh di atas tingkat inflasi. Upaya pengembangan MRT harus diikuti dengan peningkatan biaya operasional kendaraan pribadi dengan menaikkan harga barang dan jasa yang merupakan komplementer dari mobil.

Salah satu kebijakan yang mampu ditempuh yakni menaikkan harga BBM. Rencana ini yang gotong royong sudah sangat terlambat,selain dapat menurunkan minat masyarakat untuk memiliki atau menggunakan kendaraan pribadi, juga akan menghemat pengeluaran pemerintah. Pada 2013 diperkirakan pemerintah akan mengalokasikan dana sebesar Rp200 triliun untuk subsidi BBM.

Nilai yang gotong royong lebih dari cukup untuk membangun sistem MRT modern di beberapa kota utama Indonesia. Upaya lain yang mampu dilakukan yakni meningkatkan biaya parkir, terutama di daerah padat kendaraan.Ide ini alternatif yang lebih mudah dan sederhana dibandingkan dengan rencana menerapkan electronic road pricing (ERP), yaitu tol atas kendaraan di jalan-jalan tertentu Kota Jakarta.

Selain membutuhkan investasi tidak sedikit, implementasi ERP di lapangan juga relatif rumit. Biaya parkir sebesar Rp3 ribu per jam ketika ini termasuk sangat murah. Menaikkannya menjadi Rp10 ribu di banyak sekali daerah padat di Jakarta perlu dipertimbangkan lebih lanjut. Ide ini, selain berpotensi menekan jumlah pengguna kendaraan beroda empat pribadi, juga akan meningkatkan pendapatan asli Pemda DKI Jakarta.

Kombinasi ketiga hal tersebut diperlukan akan membangun perilaku efisien dalam memanfaatkan kendaraan pribadi, tanpa menutup peluang bagi masyarakat untuk memilikinya. Masyarakat akan lebih selektif dalam menentukan kapan mereka harus berjalan kaki, mengendarai sepeda, naik kendaraan umum, atau memanfaatkan kendaraan beroda empat pribadi.

Di banyak sekali negara maju, mayoritas masyarakat memiliki mobil,tetapi untuk aktivitas keseharian mereka lebih mengandalkan kendaraan umum dan menempatkan kendaraan pribadi sebagai pilihan terakhir.

Pakar ekonomi perkotaan, Richard Florida, mengatakan persaingan pada masa depan yakni persaingan antarkota,bukan antarnegara.Kita akan lebih jarang berbicara ihwal Indonesia, Singapura, Malaysia,Filipina, dan Thailand,tetapi akan lebih sering membandingkan Jakarta, Singapura,Kuala Lumpur, Manila, dan Bangkok.

Dalam konteks ini pemerintah sentra harus ikut turun tangan memperbaiki Jakarta yang merupakan hub (pusat) ekonomi dan wajah Indonesia di dunia. Apabila tidak, harapan untuk mewujudkan Indonesia yang berdaya saing tinggi di daerah tidak akan pernah terwujud.